Oleh Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
Presiden Prabowo Subianto telah melakukan wawancara dengan tujuh jurnalis senior di sebuah meja bundar di kediamannya di Hambalang, Bogor, Minggu (6/4) lalu. Dalam wawancara tersebut Prabowo membahas sejumlah hal berkaitan dengan perkembangan dinamika ekonomi politik nasional dan global. Mulai dari penolakan pengesahan RUU TNI hingga penerapan tarif impor resiprokal oleh AS. Respons Prabowo soal demo RUU TNI hingga Indonesia gelap Presiden Prabowo Subianto meminta seluruh pihak menilai demo penolakan pengesahan RUU TNI yang dilakukan masyarakat sipil di sejumlah daerah secara objektif. Meski mengatakan menyatakan pendapat dilindungi konstitusi, Prabowo mempertanyakan apakah demonstrasi itu itu murni atau dibayar kepentingan tertentu. (CNN Indonesia, 8/4/2025)
Pernyataan penguasa berkenaan dengan berbagai konflik di Indonesia khususnya demo yang dilakukan oleh kalangan dianggap bergandengan dengan pihak yang berkepentingan. Sungguh disayangkan, sekelas penguasa bisa berkata demikian. Rakyat hanya butuh di dengar. Berbagai kebijakan yang menyulitkan rakyat. PHK dimana-mana, korupsi bertaburan dan kebijakan yang mendiskriminasi rakyat.
Jika semua kebutuhan, pelayanan dan juga kebijakan menyejahterakan. Kenapa harus demo? Kenapa harus sibuk bersuara sana sini? Bahkan dengan banyaknya suara rintihan rakyat yang mengalami kesulitan penguasa hanya menutup mata. Apalagi malah menuduh rakyatnya sendiri berkoalisi dengan asing. Bukankah mereka yang membuka keran itu masuk, dengan berbagai investasi dan jalinan kerja sama sana sini.
Dalam konteks ini, para pengikut ideologi kapitalis sering kali mempropagandakan demokrasi sebagai sistem yang terbaik. Dalam pandangan mereka, demokrasi menjanjikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan. Namun, kenyataannya tidak seindah yang diharapkan. Seringkali, hakikat demokrasi justru menampakkan bahwa kekuasaan sejati dalam sistem kapitalis ini dipegang oleh elit politik yang mengklaim diri mereka sebagai wakil rakyat.
Akibatnya, hanya segelintir elit ini yang merasakan kemakmuran, sementara masyarakat luas masih terjebak dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Keadilan dan kesetaraan hukum sering kali tampak tumpul ke atas dan tajam ke bawah, itulah gambaran kehidupan di bawah sistem kapitalis ini.
Pemimpin, sebagai pengelola urusan masyarakat, seharusnya menjunjung amanah ini dengan penuh tanggung jawab. Ketakutan mereka akan konsekuensi di akhirat, yang bisa menarik mereka ke jurang aib pada hari pembalasan, menjadi pengingat bagi mereka untuk tidak mengabaikan hak-hak rakyat.
Masyarakat berhak dan berkewajiban mengingatkan pemimpin mereka. Memberikan masukan dan kritik kepada pihak berwenang adalah bagian dari iman. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan, tetapi semata-mata untuk menyampaikan kebenaran. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Nabi: “Jihad terbaik adalah berbicara kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim. ” (HR. Abu Dawud, Tirmidhi, dan Ibn Majah).
Sebenarnya, pemimpin sangat mengharapkan masukan dari rakyat, karena mereka juga memiliki rasa takut kepada Allah. Jika mereka mengkhianati amanah, mereka harus mempertanggungjawabkan dosa besar di hadapan-Nya. Umar bin Khattab pernah mengingatkan temannya, “Aku takut, jika aku melakukan kesalahan dan tidak ada yang mengingatkanku, karena mereka enggan dan menghormatiku. ”
Sesungguhnya, masukan yang disampaikan oleh rakyat adalah wujud cinta mereka kepada pemimpin. Seorang pemimpin sejati harus mencintai dan dicintai oleh rakyatnya, bukan yang hanya dicerca karena kekecewaan mendalam. Doa dan harapan akan keadilan selalu terucap dari lisan rakyat, menggema di dalam hati mereka. Mereka telah kehilangan harapan akan keadilan dari para pemimpin. Rakyat merasa jenuh dengan pencitraan yang semu dan sangat berharap agar Allah memberi kekuatan kepada pemimpin untuk melawan para penindas yang menjadi sekutu mereka.
Muhasabah bagi para penguasa adalah upaya untuk senantiasa mengawasi dan memperbaiki tugas serta kebijakan mereka. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku para penguasa ketika mereka melanggar hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban terhadap masyarakat, mengabaikan urusan rakyat, melanggar hukum Islam, atau menetapkan aturan yang tidak sesuai dengan wahyu Allah.
Dalam sistem demokrasi, hal ini tampaknya sulit diwujudkan. Sebab, pemerintah seringkali tidak lagi berfungsi untuk melayani rakyat. Prinsip manfaat sering kali dijadikan sebagai dasar tindakan, sementara halal dan haram tidak lagi menjadi perhatian utama. Tidak jarang kita melihat seorang pemimpin lebih mendahulukan kepentingan sekelompok orang atau partai. Mereka yang mampu melindungi kepentingan dan kekuasaannya akan mendapatkan dukungan.
Hal ini berbeda dengan Islam, di mana keyakinan terhadap ajaran Islam menjadi dasar untuk melaksanakan amal kebaikan. Aturan-aturan Islam merupakan solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan. Oleh karena itu, menerapkan ajaran Islam dan menjauhi aturan lainnya adalah sebuah kewajiban dan kebutuhan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 65 yang berarti:
“Demi Tuhanmu, mereka (sebenarnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima keputusan tersebut dengan sepenuhnya. ”
Wallahu’alam